telusuri


Tuesday, March 30, 2010

OLAHRAGA INDONESIA, HAMPA DALAM KERIUHAN.

Diakui atau tidak, perhatian Pemerintah Indonesia terhadap dunia olahraga belumlah maksimal. Apalagi total seperti yang terjadi pada negara-negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam. Jangan dibandingkan dengan China yang memang sudah menjadikan olahraga sebagai sektor utama, penting, dan unggulan dalam membangun kehidupan serta citra bangsa dan negara.


Harus diakui pula, perhatian pemerintah pada salah satu bidang kehidupan yang mengusung moto mens sana in corpore sano (dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang sehat) ini baru dalam tahap sentuhan dan elusan. Sudah begitu, masih bersifat formalitas. Bagaimana bisa menjadikan olahraga yang memiliki dan lebih mengedepankan nilai-nilai sportivitas dan fair play bisa tumbuh sehat dan kemudian meraih prestasi membanggakan di tingkat Asia Tenggara, Asia, maupun dunia.
Padahal Indonesia dengan potensi alam dan penduduknya yang besar serta beragam seharusnya menjadi ladang subur untuk tumbuhnya prestasi berbagai cabang olahraga.
Hal ini sudah terbukti dengan gamblang pada Asian Games IV tahun 1962. Indonesia mampu menjadi kekuatan kedua terbesar di Asia setelah Jepang dengan raihan 11 emas, 12 perak, dan 28 perunggu. Setelah tidak lagi mendapat perhatian total dari pemerintah--lebih khusus lagi presiden--olahraga Indonesia masih mampu menunjukkan dominasinya di ajang SEA Games dengan berulang kali menjadi juara umum.
Prestasi olahraga Indonesia makin merosot seiring dengan menurunnya perhatian pemerintah. Memang Indonesia mampu merebut dua emas di Olimpiade Barcelona melalui bulutangkis. Namun, ini menurun dan kini hanya satu emas kebanggaan Merah Putih di Olimpiade. Kemerotan paling nyata terjadi pada ajang Asian Games dan SEA Games. Emas anjlok di Asian Games, dan di SEA Games tak mampu lagi menjadi juara umum.Beruntung, menipisnya perhatian pemerintah tidak membuat olahraga Indonesia mati. Prestasi di tingkat internasional memang menurun, namun gairah olahraga di dalam negeri tetap tinggi.
Bahkan, riuh rendah dan hiruk-pikuk sama dengan riuh rendahnya kehidupan di bidang lainnya di dalam negeri. Bagaimana keriuhan olahraga di Tanah Air bisa dilihat tentang gejolak menjelang dilaksanakannya Kongres (lebih tepat sarasehan) Sepak Bola Nasional (KSN) yang digelar di Malang, Jawa Timur, 30-31 Maret ini. KSN yang dicetuskan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung mendapat tanggapan dan mengundang pro dan kontra dari para insan sepak bola nasional dan juga pencinta olahraga di Tanah Air.
Sepak bola yang merupakan olahraga rakyat selama ini sudah diketahui selalu hiruk-pikuk, ada kasus mafia wasit, kerusuhan pemain, dan brutalnya suporter. Tidak bisa dilupakan kasus sepak bola gajah.Pada cabang lain tidak kalah riuhnya. Bulutangkis yang menjadi olahraga andalan Indonesia di muka dunia, bukan hanya sibuk mengatasi melorotnya prestasi.
Di sana ada kegaduhan karena tidak jelasnya kontrak pemain. Dampaknya, beberapa pemain andalan mundur dari pelatnas dan pelatih lebih senang berkarier di luar negeri. Masih ada kasus lain. Petinju mengeroyok pelatih. Mantan petinju memakai narkoba, dan ada pula yang gantung diri. selain itu, atlet pencak silat meninggal tertusuk setelah terlibat perkelahian.
Sudah begitu, dua lembaga yang berperan besar dalam pembinaan olahraga nasional, KONI Pusat dan Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga, juga tarik-tarikan pengaruh. Sampai saat ini, hal itu belum tuntas meskipun sudah coba diperhalus. Korbannya tentu persiapan kontingen Indonesia menuju Asian Games 2010 dan SEA Games 2011. Begitulah, keramaian olahraga nasional yang semua bernada minor, bukan ramai dalam prestasi. Kondisi ini kebetulan sangat mirip dengan kehidupan lainnya di negeri ini.
Bangsa Indonesia baru saja riuh rendah oleh kasus Bank Century. Sebelumnya ada kasus cicak melawan buaya, kemudian terorisme. Mencuat pula markus di lingkungan para penegak hukum. Setelah cicak melawan buaya, kini giliran buaya melawan buaya. Saat akhir penyerahan surat pembayaran pajak, masyarakat mendapat pukulan dengan terbongkarnya kasus permainan oknum pegawai pajak yang memainkan uang negara.
Kerusuhan mengiringi di berbagai daerah. Semua serba riuh dan semua bernada minus, tanpa prestasi. Adakah olahraga memang menjadi cermin dari kondisi kehidupan pemerintahan suatu negara dan bangsa. Ada yang menyatakan, tidak ada pula yang mengatakan bisa saja begitu. Namun, di Indonesia, olahraga merosot, kehidupan berbangsa dan bernegara pun menurun. Dalam karut-marut itulah olahraga berusaha sekuat tenaga untuk bertahan.
Namun, semangat mandiri untuk tetap bisa hidup dari olahraga itu tidak bisa maksimal menjelma menjadi prestasi karena pemerintah tidak pernah melihat secara serius. Jangankan melihat, menengok pun enggan.
Seharusnya pemerintah menempatkan dirinya sebagai matahari dengan memberikan sinar kehidupan kepada semua bidang dan lapisan kehidupan. Nyatanya, untuk olahraga, sinar matahari itu telah berpaling. Olahraga Indonesia dengan mengandalkan peran serta masyarakat berusaha mempertahankan gelora. Ada dan tidak ada perhatian pemerintah, olahraga memang tidak akan mati. Hidup hampa dalam keriuhan. (Gungde Ariwangsa)

No comments:

Post a Comment