Pertandingan Kehidupan Susi Susanti
Pengalaman sebagai pemain bertahan selama puluhan tahun telah menempanya menjadi sosok kuat di berbagai keadaan
Di tengah keterpurukan prestasi olah raga Indonesia, Susi Susanti memberikan angin terang. Tim bulutangkis putri yang dipimpinnya berhasil menjadi runner up dalam piala bulutangkis bergengsi, Uber Cup, Mei lalu. Setelah sepuluh tahun –dan ini artinya dalam waktu yang sama saat Susi memutuskan untuk menggantung raket—prestasi bulutangkis putri Indonesia terus melorot dan dianggap underdog.
Kemenangan ini memberikan sinyal positif dunia bulutangkis putri. “Sekarang masyarakat bangkit lagi justru karena Uber Cup, bukan Thomas Cup. Adalah kebanggaan bagi saya, membangkitkan putri-putri Indonesia. Ini membuktikan bahwa putri Indonesia hebat,” Susi mengenang bagaimana banyak orang yang menyayangkan dirinya saat bersedia menjadi manajer. ”Mereka takut nama saya hancur karena kondisi prestasi tim putri waktu itu.”
Berbagai tekanan itu justru menjadi tantangan. Niatnya yang tulus untuk membantu seakan memberikan hawa segar pada tim yang dipimpinnya. Ia sengaja memposisikan dirinya sebagai kakak untuk adik-adiknya. Strategi ini tampaknya ampuh. Buktinya ia justru menemukan berbagai faktor yang membuat prestasi tim putri terus memburuk: perasaan takut gagal sebelum bertanding. ”Saya berusaha mengubah mindset mereka,”ucap Susi yang mempersiapkan mereka selama lima bulan sebelum bertanding. Tak jarang ia memasakkan tim ayam bila ada anak asuhnya yang kurang enak badan sebagai wujud perhatiannya. Persis yang pernah dialaminya.
Masuknya Susi sebagai manajer tim putri sebenarnya merupakan hal yang istimewa. Saat memutuskan berhenti dari bulutangkis, ia benar-benar menolak setiap permintaan untuk kembali ke lapangan, apakah sebagai pemain, pelatih hingga manajer tim. Tapi permintaan Sutiyoso, Ketua Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) untuk kesekian kalinya akhirnya mengusik nasionalismenya. “Lalu mau kapan lagi kamu membantu bulutangkis Indonesia?,” ia mengutip permintaan Sutiyoso sebelum akhirnya ia menyanggupi. Setidaknya untuk pertandingan ini saja.
Apakah ia akan meneruskan ”pekerjaan” sampingannya sebagai manager, Susi hanya tersenyum. Kesibukan bisnis yang dirintis –perusahaan raket ASTEC (berasal dari nama Alan-Susi Technology), pijat sport, dan sekolah bulutangkis Karisma– serta ketiga anaknya menjadi faktor pertimbangannya. ”Sudah cukup 20 tahun di bulutangkis, sekarang waktunya saya menata keluarga,” ucap wanita kelahiran Tasik Malaya, 37 tahun lalu. Ia sendiri pernah ditawari berkali-kali untuk menjadi pelatih di luar negeri dengan gaji lumayan besar dan jaminan masa depan, mengikuti rekan-rekannya yang lain. Tapi Susi—yang pernah bermasalah soal kewarganegaraan di Indonesia—menampiknya.
Ia juga menolak tegas saat beberapa partai menawarkannya menjadi calon legislatif, bahkan ada pula yang menjanjikan menjadi menteri olah raga. Tapi pemilik nama Lucia Francisca Susi Susanti memutuskan untuk menjadi orang biasa. ”Masuk politik itu menakutkan. Saya tak tahu siapa lawan, siapa kawan. Sebagai atlit, jiwa saya sportif. Politik, mungkin tak sportif. Itu saya nggak mungkin bisa. Saya tak mau banyak musuh,”jelasnya. Bertahun-tahun hidup dalam dunia olah raga ternyata tak hanya menempanya pada soal stamina tubuh, tapi juga sikap, dan juga moral, ini yang penting.
Memang akhirnya ironis bila pasangan cinta yang meraih medali Olympiade 1992 ini tidak menginginkan ketiga anaknya mengikuti jejak di bulutangkis. Tawanya terasa getir saat ia berkata,” Sekolah saja deh.. Saya ingin mereka sekolah setinggi-tingginya, kalau bisa di luar negeri. Melanjutkan cita-cita mama papanya yang nggak sekolah. Biar mereka bisa lebih dari kami. Kalaupun bisa bulutangkis, cukuplah sebagai keahlian saja.” Perihal masih suramnya masa depan atlit di Indonesia barangkali masih mengganggu pikirannya.
Bila sekarang ia terlihat mapan, itu bukan berarti karena jaminan hidup yang diberikan pemerintah atau instansi lain, seperti kehidupan para atlit di negara-lain. Dia dan Alan memulainya dari nol, penuh pedih perih dan jungkir balik.
Untungnya, ia sudah terbiasa hidup mandiri dan bekerja keras. ”Saat bertanding di Jepang misalnya, saya harus pintar mengalokasikan dana yang tak seberapa untuk mengatur pengeluaran, termasuk biaya hotel dan makan. Bila tak cukup, saya membawa rice cooker, mi instan dan mencuci baju sebelum bertanding. Makanya saya sudah kebal, tak manja,” aku Susi yang memulai penjualan door to door untuk mendapatkan pelanggan. ”Padahal untuk meyakinkan konsumen harus ada ilmunya. Kami benar-benar tak punya..”
”Untungnya, saya orangnya ngototan, kalau sudah punya mau, saya kejar sampai berhasil. Nggak mau kalah, ini sifat jelek saya. Bahkan sampai sekarang, kalaupun berantem kalah, tetap saja merasa menang. Saya memang dikenal keras kepala,”ia tertawa.
Kini bisnisnya sudah mulai berkembang. Ia menekuninya dengan penuh suka cita, sesuka cita pada dunia bulutangkis yang pernah membesarkan namanya. Di perusahaan ASTEC miliknya itu, ia mengembangkan raket khusus berdasarkan kebutuhan: single/double, pemain penyerang atau pemain bertahan, profesional atau hobi. Di sini, Susi sendiri bertindak sebagai ahli pengembangan perusahaan. Pabriknya ada di China. Soal pemasaran di Indonesia, ia melakukannya sendiri.
Kiranya ia masih menyimpan keinginan untuk membuat akademi bulutangkis di Indonesia. Sebuah sekolah formal untuk bulu tangkis, terarah, berasrama, dan mendapat pendidikan sekolah umum. ”Banyak pemain bulutangkis yang putus sekolah. Ini artinya mereka mengambil resiko terlalu berat. Setidaknya mereka harus lulus SMA. Bila mereka gagal di bulutangkis, mereka masih punya harapan untuk mengambil kuliah lagi,” ucap Susi yang berharap tradisi emas bulutangkis tetap dipertahankan Indonesia.
Dia rupanya punya pandangan lain soal pembinaan atlet. Menurutnya, atlit akan lebih cerdas bila memiliki dasar pendidikan formal yang bagus. ”Karena otak sudah terbiasa dilatih, sudah biasa menghafal. Bila bertanding, dia tahu persis apa keunggulan dan kekuatan lawan dan bagaimana menghadapinya dengan cepat. Kalau tak terbiasa sekolah, di lapangan akan terlihat. Bulutangkis, atau olah raga apapun, tidak hanya soal tenaga. Tapi juga kecerdasan.”
Susi tampak begitu berapi-api saat bercerita tentang bulutangkis. Baginya, bulutangkis bukan sekadar prestasi, tapi juga ekspresi dan bentuk seni yang indah. ”Saya ingin memberikan satu tontonan kepada orang lain bahwa bulutangkis adalah seni yang menarik, bagus dan tidak menjemukan. Saya menikmati saat memainkannya. Seperti sebuah seni, ada keindahan tersimpan di sana,”tukas Susi yang dikenal dengan gaya dropshot silangnya. Ia—yang sejak kecil diikutkan sepatu roda, berenang, balet oleh kedua orang tuanya—tentu dengan sadar menggerakkan tubuhnya agar gerakannya selalu indah. ”Saya belajar bulutangkis di depan cermin, jadi saya tahu gerakan saya bagus atau tidak,”ungkap Susi yang sangat menyukai gerak gemulai Li Ling Wei, musuh bebuyutan yang juga pemain idolanya.
Itulah dunia bulutangkis yang dipandang Susi dengan penuh optimisme. Begitu pula ia mengumpamakan kehidupan yang dihadapi seperti sebuah pertandingan. Untuk memenangkannya, seorang atlit harus sudah berjalan cukup jauh: menggembleng semangat, menghilangkan rasa bosan, menghilangkan kesenangan pribadinya—misalnya pacaran atau jalan-jalan di mal seperti teman sebayanya—demi sebuah tujuan, yang mungkin saja bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk nama besar sebuah bangsa.
Berbagai rangkaian peristiwa dan prestasi Susi di atas seolah menyatakan satu hal. Bahwa dengan kerja keras, bahkan sangat keras, semua harapan bisa diwujudkan. Perjuangan bukanlah hal yang instan. Kegalauan hanyalah menebalkan kelelahan. Karena itu, tak ada kata lain terhadap kegalauan, selain kata: lawan!
maaf sekedar masukan, warna tulisan di blog anda terlalu menyiksa mata pembaca, karna terlalu kontras dengan background nya.
ReplyDeleteartikel yang bagus, saya juga fans mbak susi :)