telusuri


Tuesday, March 23, 2010

PP 10 MENGUBAH PETA BULUTANGKIS DUNIA

Begitu pemain tunggal putra Tiongkok, Lin Dan, memenangkan medali emas di Olimpiade Beijing 2008, dia langsung melompat kegirangan dan memeluk kedua orang pelatihnya. Maklum, walaupun ia memegang ranking IBF (persatuan bulutangkis internasional) nomor satu dan sudah memenangkan Kejuaraan Dunia, Thomas Cup, dan All England, empat tahun sebelumnya di Athena, Yunani, ia harus menggigit jari dikalahkan di babak pertama oleh pemain Singapura asal Indonesia, Ronald Susilo.


Lawan bebuyutannya kala itu, Taufik Hidayat, yang akhirnya memenangkan medali emas 2004. Di tahun ini, Taufik tersingkir di babak pertama oleh pemain Malaysia, Wong Choon Hann.

Penggemar bulutangkis di Indonesia pasti tak asing lagi dengan salah satu pelatih Lin Dan, yang oleh persatuan bulutangkis Tiongkok diberi tugas khusus untuk mempersiapkan Super Dan – demikian ia biasa dipanggil oleh media luar negeri – untuk merebut medali emas. Ia tak lain ialah Tang Xianhu, bekas pelatih Tim Nasional Indonesia dari tahun 1987 sampai dengan 1997.

Tang Xianhu (menurut ejaan standar bahasa Tiongkok, pinyin) juga dikenal dengan nama Tong Sinfu (ejaan bahasa Kanton), dan ketika masih mewakili Indonesia sebagai pemain yunior di akhir tahun 1950-an, memakai nama lahirnya Thing Hian Houw (ejaan bahasa Hokkian, yang lazim dipakai di Indonesia sejak masa Hindia Belanda). Di masa 1950-an, para pemain papan atas Indonesia didominasi oleh etnis Tionghoa, misalnya Tan Joe Hok dan Njoo Kiem Bie, dengan beberapa perkecualian misalnya Ferry Sonneville yang keturunan Eropa. Di bagian yunior, Hian Houw termasuk pemain generasi berikutnya.

Di masa itu juga, politik adalah panglima. Presiden Sukarno dekat dengan PKI, tapi bila perlu akan memberi angin kepada tentara yang di masa perang dingin itu mengambil haluan politik sangat kanan. Dengan dimotori oleh tentara, di tahun 1959, pemerintah Sukarno meluncurkan Peraturan Pemerintah Nomor 10, yang melarang etnis Tionghoa berdagang di kota tingkat kecamatan, jika mereka tidak memiliki surat bukti kewarganegaraan Indonesia (SBKRI).

“Pai hua” (racial harrassment), lagi-lagi “pai hua”, keluh etnis Tionghoa. Mengurus SBKRI, bahkan sampai 40 tahun kemudian pun, makan waktu bertahun-tahun dan uang banyak. Alhasil, PP10, demikian ia dikenal, dalam waktu semalam membuat puluhan ribu warga Tionghoa di pelosok-pelosok kelihangan aset dan mata pencaharian.

Tak kurang dari sastrawan dan intelektual nomor wahid Pramudya Ananta Toer, memprotes ketidakadilan itu, yang dituangkannya dalam satu buku penuh data otentik dan tabel-tabel berjudul “Huakiao di Indonesia”. Atas keberaniannya sebagai satu-satunya “suara di padang pasir”, Toer dipenjarakan tentara.

Sebagai akibat dari ketidakbijakan ini, terjadi eksodus besar-besaran di tahun 1960 dari Indonesia ke Tiongkok. Bagaimana jika anda dilarang bekerja di bidang yang sudah turun temurun dilakukan dan diusir dari toko keluarga? Puluhan ribu pemuda-pemudi Tionghoa direpatriasikan ke kampung halaman nenek moyang mereka, walaupun bahasa Mandarin tidak begitu mereka kuasai atau mereka ucapkan dengan aksen Jawa yang kental.

Termasuk dalam rombongan ini ialah pemain-pemain top bulutangkis yunior di Indonesia, termasuk Thing Hian Houw (Jakarta), Houw Ka Tjong (Semarang), dan Fang Kaixiang (Surabaya) di rombongan pria, dan Tan Giok Nio and Leung Tja Hoa di bagian wanita. Sesampainya di Tiongkok, nama-nama mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin menjadi Tang Xianhu, Hou Jiachang, Fang Kaixiang, Chen Yuniang, dan Liang Qiuxia. (Liang Qiuxia sendiri ialah kakak Tjun Tjun, yang kemudian bersama Johan Wahjudi menang piala ganda putra All England 5 kali berturut-turut.)

Dengan cepat mereka menjadi pemain-pemain papan atas di Tiongkok, karena mereka membawa serta permainan dan latihan “speed and power” yang dikembangkan oleh klub-klub bulutangkis di Indonesia (yang memungkinkan Indonesia mendominasi Thomas Cup dan All England 1956-1980).

Dalam setiap pertandingan internasional yang mereka hadapi, tidak ada yang mampu mengalahkan Tang cs. Bahkan Erland Kops, juara All England sebelum Rudy Hartono naik daun, hanya diberi 5 dan 0 dalam suatu pertandingan persahabatan waktu Kops berkunjung ke Tiongkok. Di masa itu, duo pendekar bulutangkis Hou dan Tang ini dikenal sebagai pendekar jurus monyet (Hou dari Hou Jiachang sama bunyinya dengan hou monyet) dan pendekar jurus macan (Hu dari Xianhu sama bunyinya dengan hu macan).
Sayangnya, perkembangan politik di Tiongkok membuatnya menjadi negara yang tertutup (tirai bambu). Pertama, Republik Rakyat Tiongkok sampai tahun 1974 tidak diakui oleh Persatuan Bangsa Bangsa; Republik Nasionalis Tiongkok (Taiwan) lah yang diakui oleh PBB dan banyak negara lain sebagai satu-satunya negara Tiongkok.

Kedua, ketua Partai Komunis Tiongkok Mao Zedong meluncurkan program revolusi kebudayaan yang makin membuat Tiongkok terisolasi dari dunia internasional dan membuat perkembangan ekonomi dan budaya Tiongkok mandek selama era 1968-1978.

Ketiga, G30S PKI di Indonesia dengan imbas samping terputusnya hubungan diplomatik mengakibatkan pertukaran informasi dan budaya antara Indonesia dan Tiongkok sama sekali terputus antara 1965-1980. Tiongkok sendiri anggota World Badminton Federation, sedangkan Indonesia anggota International Badminton Federation.

Akibatnya, Tiongkok tidak pernah turut serta All England, Piala Thomas/Uber, dan turnamen lainnya yang disponsori oleh IBF. Paling-paling hanya Asian Games. Hou Jiachang dan Tang Xianhu di masa jayanya di tahun 1960-an dan awal 1970-an tidak pernah bertanding dengan pemain legendaris Indonesia Rudy Hartono.

Pada waktu mereka mulai gaeklah (usia 36) mereka bermain melawan Iie Sumirat dalam suatu pertandingan di Bangkok dan kalah. Jadi kita tidak akan pernah tahu, siapa yang lebih hebat: Hou dan Tang atau Rudy Hartono.

Begitu mereka pensiun sebagai pemain, Tang, Hou, dan Liang melanjutkan karier mereka sebagai pelatih. Tang dan Liang kemudian menjadi pelatih kepala tim nasional putra dan putri. Dapat dikatakan efek mereka sebagai pelatih jauh lebih besar daripada sebagai pemain. Para pebulutangkis didikan mereka, langsung maupun tak langsung, langsung mampu bersaing dengan Liem Swie King dkk. begitu pintu diplomasi dibuka di tahun 1980. Dalam pertarungan persahabatan di tahun 1980, Indonesia dikalahkan tipis 5-4 oleh tim Tiongkok yang berisi Han Jian, Luan Jin, antara lain.

Generasi berikutnya Yang Yang, Zhao Jianhua naik daun bersamaan dengan turunnya pamor Liem Swie King karena usia. Icuk Sugiarto dicatat sejarah sangat kesulitan dan tidak pernah menang melawan Yang Yang. Di bagian putri yang secara tradisional didominasi oleh Jepang dan kadang-kadang Indonesia, anak didikan Liang Qiuxia menyapu semua pertandingan internasional di tahun 1980-an, dengan dimotori Li Lingwei, Han Aiping, dkk.

Tang sendiri mengatakan, ia tidak bisa mengubah batu menjadi emas. Artinya, bakat harus ada, tidak bisa tanpa bakat dengan latihan langsung menjadi juara. Tapi peran pelatih dan tradisi disiplin dan kemampuan teknis yang dibawanya tidak bisa dianggap remeh.

Buktinya? Setelah Deng Xiaoping (pengganti Hua Guofeng yang ditunjuk oleh Mao Zedong sepeninggalnya) menjabat sebagai pemimpin RRT, ekonomi Tiongkok dibuka lebar. Pelatih boleh bekerja di luar negeri untuk mendapatkan penghasilan lebih. Tang Xianhu dan Liang Qiuxia memilih kembali ke tanah kelahiran mereka dan diangkat oleh PBSI menjadi pelatih tim nasional Indonesia, sejak tahun 1987.

Seorang pemain bulutangkis Amerika keturunan Vietnam pernah berlatih dengan timnas Indonesia di tahun 1988. Ia bercerita, latihan sangat berat. Delapan jam sehari, ditambah dua jam latihan main. Jika ada yang kakinya terkilir, pelatih dengan keras akan berkata: “Bangun, atau keluar”.

Hasil dari latihan keras ini? Ardy Wiranata, Heryanto Arbi kembali memenangkan All England berkali-kali. Di tahun 1992, Allan Budikusuma dan Susy Susanti mengawinkan medali emas putra-putri di Barcelona. Pemain-pemain tunggal Indonesia, digabung dengan kekuatan tradisional Indonesia di ganda putra yang dilatih Christian Hadinata, kembali mendominasi piala Thomas.

Di bagian putri, Susi Susanti dkk. untuk pertama kalinya sejak 1976 memenangkan Piala Uber. Susi sendiri mengakui peranan “cik Chiu-Hsia” demikian Liang dipanggil oleh anak didiknya di pelatnas. Tiongkok kelabakan ditinggal oleh dua pelatih dewa ini, dan perlu beberapa tahun untuk membangun kembali program mereka di bawah Li Yongbo, bekas didikan Tang juga.

Sekembalinya di Indonesia dan melanjuti sukses mereka, Tang dan Liang bahkan mau kembali menjadi warga negara Indonesia. Bahasa Indonesia mereka masih lancar. Bahkan kalau mereka bicara bahasa Mandarin dengan aksen Indonesia. Tapi, mengurus SBKRI tidak gampang.

Kemudian terjadi krisis moneter dan dampak negatifnya kerusuhan rasial Mei 1998 yang lagi-lagi ditunggangi oknum-oknum tentara. Tang memilih kembali ke Tiongkok ke tanah leluhur di Hokkian. Walaupun tidak jadi pelatih kepala, ia diminta melatih ganda putra dan secara selektif beberapa tunggal putra.

Hasilnya? Tiongkok kembali naik daun. Ji Xinpeng meraih emas mengalahkan Hendrawan (juga bekas murid Tang) di Sydney 2000. Hanya Taufik yang mampu mematahkan dominasi itu di Athena 2004. Pemain-pemain Tiongkok kembali mendominasi kejuaraan-kejuaraan beregu, baik Thomas, Uber, maupun Sudirman Cup.

Dan terakhir, Lin Dan membalas kekecewaan empat tahun lalu dan mempersembahkan medali emas kepada Tiongkok dan pelatihnya, Tang Xianhu alias Thing Hian Houw.

Jika bukan karena PP 10, hari ini RRT tidak akan mempunyai tradisi bulutangkis dominan yang diluncurkan oleh Tang, Hou, Liang, dkk., etnis Tiongkok asal Indonesia. Bukan tidak mungkin Indonesialah yang mendominasi total semua medali emas putra dan putri di dalam Olimpiade.

No comments:

Post a Comment